Rabu, 18 Maret 2015

BEKAS STASIUN BLORA

Bekas stasiun Blora terletak di depan BLOK T sebagai pusat oleh-olehnya kota BLORA.
Jalur kereta api di sisi stasiun ini memiliki posisi yang sangat unik, karena terletak di dua
persimpangan yang berbeda, yaitu dari arah Selatan – Barat dari jalur kereta Demak –
Godong – Purwodadi – Wirosari – Kunduran – Ngawen – Blora, sedangkan dari utara –
timur, dari arah Rembang – Mantingan – Blora – Jepon – Cepu. Posisi strategis ini
menyebabkan stasiun ini memiliki fungsi dan kelengkapan fasilitas sebagai stasiun
Kabupaten. Halaman depan sebagai perpindahan dari sistem transportasi jalan baja ke
sistem transportasi jalan raya atau sebaliknya. Juga digunakan sebagai terminal
kendaraan umum, parkir kendaraan, dan bongkar muat barang.



MASJID BAITUNNUR BLORA

Masjid ini terletak di barat alun-alun kota Blora. Dibangun pada tahun 1722 dan
pelaksanaan pemugaran pertama dilakukan oleh Bupati R.T. Djajeng Tirtonoto pada tahun 1774 dengan Surya Cengkala “Catur Pandhita Sabdaning Ratu”. Pada tahun 1968 dan 1975 dipugar oleh Bupati Supadi Yudhodarmo dengan tambahan bangunan menara.

Kompleks masjid ini terdiri atas bangunan induk dan serambi. Bangunan induk beratap
susun tiga. Pada bagian puncaknya terdapat mustoko dari logam. Komponen artefak kuno
yang terdapat di masjid dan serambi antara lain mimbar dari kayu berukir, maksurah, dan
2 buah bedug. Selain itu terdapat prasasti berhuruf Jawa di atas ambang pintu masuk ke
ruang utama dan angka tahun 1892 di daun pintu. Pada pintu selatan terdapat angka
tahun 1822 dan pintu sebelah utara 1310 H. Pada mimbar terdapat angka tahun dengan
huruf Arab dan Jawa, dan terbaca 1718.


Selasa, 17 Maret 2015

SITUS SUNGGUN

Penelitian lapangan yang dilakukan di bekas galian pasir di Dusun Sunggun, Desa
Medalem, Kecamatan Kradenan pada tahun 2006, diperoleh indikasi adanya vosil
vertebrata. Selanjutnya pada penelitian tahun 2009, tepaynya 23 Maret 2009 dilakukan
penggalian uji (test pit) di lokasi tersebut, yang ternyata ditemukan kerangka seekor
individu gajah hampir lengkap (90%). Temuan ini termasuk penemuan spektakuler,
karena sejak dimulainya penelitian fosil vertebrata di Indonesia (Jawa) sekitar tahun
1850-an, baru sekarang ini ditemukan satu individu lengkap fosil gajah.

Dari berbagai tulang belulang yang diperoleh, dapat dipastikan bahwa gajah ini termasuk
 dalam genus Elephas, sedangkan jenis atau spesiesnya diduga termasuk Elephas Hysudrindicus.
Umur kepurbakalaan diperkirakan sekitar 200.000 tahun. Menurut dia, gajah purba
itu mati terperosok di endapan Bengawan Solo purba pada 200.000 – 300.000 silam.
Diduga fauna yang ditemukan di Sunggun termasuk jenis fauna Ngandong.

Perjalanan penggalian di daerah ini dimulai tahun 1931, saat Ter Haar menemukan lapi-
san teras/undak Sungai Bengawan Solo yang banyak mengandung fosil vertebrata.
Temuan ini ditindaklanjuti dengan ekskavasi oleh Jawatan Geologi selama kurun
1931-1933 yang berhasil menemukan lebih dari 40.000 spesimen fosil vertebrata termasuk
11 spesimen tengkorak dan 2 spesimen tulang kaki (tibia) dari manusia.




SITUS MEDALEM

Situs Medalem terletak di kecamatan Kradenan, di dekat Bengawan Solo dan berada pada ketinggian 43 m dpl. Situs ini juga merupakan situs paleontologis dan manusia purba. Ekskavasi yang telah
dilakukan di Situs Medalem telah menemukan sejumlah fragmen fosil vertebrata dan
artefak yang merupakan hasil budaya manusia purba. Fragmen fosil vertebrata yang
ditemukan dari jenis hewan gajah, kuda nil, kerbau, sapi, rusa, kura-kura dan ikan hiu.
Sementara artefak peninggalan manusia purba yang ditemukan berupa sebuah alat dari
tanduk rusa dan dua buah alat lancipan dari tulang.


Senin, 16 Maret 2015

SITUS NGLORAM

Di desa ini terdapat situs yang oleh penduduk setempat disebut sebagai punden
Nglinggo dan Punden Ngloram. Situs ini berukuran sekitar 100x100m yang berada pada
lahan kosong yang terletak di pinggiran pemukiman penduduk dan areal persawahan.
Situs ini terdapat tumpukan batu yang berundak, digundukan teratas terdapat makam
yang tidak diketahui namanya. Penduduk setempat meyebutnya dengan Punden
Nglinggo. Di bawahnya terdapat tumpukan bata yang membatasi punden tersebut dengan
bidang kosong. Di sebelah kiri agak ke bawah terdapat gundukan bata yang disebut
dengan Punden Ngloram.

Sebuah prasasti menyebutkan bahwa situs ini disebut juga Situs Wura-Wari yang
berkaitan dengan Haji Wura-Wari. Ia adalah penguasa bawahan yang pada tahun 1017
menyerang Kerajaan Mataram Hindu. Saat itu Kerajaan Mataram Hindu berpusat di
daerah yang sekarang dikenal dengan Maospati, Magetan, Jawa Timur. Serangan
dilakukan ketika pesta pernikahan putri Darmawangsa Teguh dengan Airlangga yang juga
keponakan raja sedang dilangsungkan.

Membalas dendam atas kematian istri, mertua, dan kerabatnya, Airlangga yang lolos dari
penyerangan dan tinggal di Wanagiri (di daerah perbatasan Jombang-Lamongan),
akhirnya balik menghancurkan Haji Wura-wari. Namun sebelumnya Haji Wura-wari
terlebih dahulu menyerang Airlangga sehingga dia terpaksa mengungsi dan keluar dari
Keratonnya di Watan Mas (sekarang Kecamatan Ngoro, Kab. Pasuruan, Jawa Timur).
Serangan balik Airlangga, yang ketika itu sudah dinobatkan sebagai menggantikan
Darmawangsa Teguh, ditulis dalam Prasasti Pucangan (abad XI).
Serangan itu pula yang memperkuat dugaan batu bata kuno berlumut yang banyak
ditemukan di sini. Batu bata kuno berukuran 20 x 30cm dengan tebal sekitar 4 cm,



KOMPLEK MAKAM BUPATI BLORA

Pada awalnya, lokasi makam tersebut adalah rumah tinggal Bupati Kanjeng R.T. Djajeng
Tirtonoto, setelah pensiun dari jabatan Bupati Blora akhirnya beliau mendapatkan tanah
kamardikan (sekarang Desa Ngadipurwo). Setelah Kanjeng R.T. Djajeng Tirtonoto
meninggal, ia dimakamkan di dalam kamar tidurnya di rumah tersebut. Tempat ini mulai
menjadi makam para Bupati, setelah R.T. Tirto Koesoemo sebagai bupati meninggal dan
juga dimakamkan di tempat tersebut. Tempat ini kemudian dikenal sebagai Makam Ngadipurwo.

Di lokasi ini terdapat delapan makam Bupati tempo dulu yang pernah memerintah Blora
dalam kurun waktu tahun 1762 s.d 1925.
Bupati Blora yang dimakamkan di tempat ini antara lain :
1. R. T. Djajeng Tirtonoto, Bupati Blora tahun 1762-1782
2. R.T. Tirto Koesoemo, tahun 1782-1812
3. R.T. Prawiro Joedho, tahun 1812-1823
4. R.T. Tirto Nagoro, tahun 1823-1842
5. R.T. Aryo Tjokronagoro I, tahun 1842 (hanya 7 bulan)
6. R.A. Tirtonagoro IB, tahun 1743-1847
7. R.T. Panji Noto Nagoro, 1847-1857
8. R.T. Tjokronagoro II, 1873-1886
9. R.M.T.A. Tjokronagoro III, 1886-1912
10. R.M. Said Abdul Kadir jaelani, tahun 1912-1926


Minggu, 15 Maret 2015

SITUS GUA KIDANG

Gua Kidang merupakan satu-satunya gua hunian di kawasan karst Blora dengan indikasi
hunian berupa temuan artefak di permukaan tanah dan melalui pengkaisan.
Temuan artefak cangkang kerang dari Gua Kidang meliputi beberapa jenis antara lain:
calon alat, serut, lancipan, serut – lancipan, dan manik-manik. Adapun temuan artefak
tulang meliputi jenis lancipan, sudip, spatula, pengasah, dan perhiasan. Kedua jenis
artefak cangkang kerang dan tulang ini beberapa tampak terbakar. Di antara temuan
artefak cangkang kerang yang menarik (Nurani dan Hascaryo, 2009) adalah serut
bergerigi. Pengerjaan serut bergerigi ini tampak jelas dikerjakan dengan aspek teknologi
yang “tinggi”. Alat ini seperti gergaji, yaitu dengan pengerjaan intensif pada lateral kiri
dengan membuat retus bergerigi mikro sepanjang bagian lateral sampai bagian bawah.
Sementara itu lateral kanan dikerjakan dengan pangkasan makro berbentuk cekung
dengan jejak pemakaian cukup intensif juga. Dengan demikian alat ini tampaknya
berfungsi ganda yaitu sebagai gergaji dan serut.

Temuan lainnya yang menarik adalah temuan yang menunjukkan alat berfungsi ganda
bukan sebagai manik-manik (perhiasan) saja, tetapi juga berfungsi sebagai alat. Ukuran
alat 4,9 x 2,8 x 0,5 cm. Manik-manik ditandai dengan membuat lubang berdiameter 1,2
cm pada bagian tengah cangkang. Sementara itu pada bagian bawah dikerjakan dengan
teknik pengerjaan retus untuk membentuk tajaman runcing secara mikro seperti gergaji
dengan ukuran lebih lebar dari pada gergaji sebagaimana specimen serut gergaji di atas.
Temuan artefak tulang yang menarik adalah alat pengasah yang dibuat dari tulang
panjang bovidae. Ukuran alat 7,7 x 3,9 x 2,2 cm. Teknik pengerjaan dilakukan dengan
cara pemangkasan secara longitudinal pada kedua sisi tulang. Sementara itu bukti kalau
alat ini merupakan alat pengasah adalah pada bagian atas tulang yaitu terdapat lekukan
melebar. Kemungkinan pengasahan dilakukan dengan cara memegang tangkai tulang
dan alat yang hendak diasah diletakkan di bagian lekukan tersebut. Alat yang diasah
diduga adalah alat kerang.

Temuan berbagai artefak cangkang kerang dan tulang Gua Kidang ini menunjukkan
adanya perbedaan temuan artefak cangkang kerang dan tulang dari gua-gua lainnya di
Jawa baik dari segi teknologi maupun tipe alat. Selama ini artefak cangkang kerang
temuan dari berbagai gua-gua di Jawa umumnya berupa serut tipe bulan sabit yang teknik
pengerjaannya dengan pangkasan-pangkasan sederhana dan pangkasan sekunder
berupa retus-retus untuk mempertajam alat. Adapun alat tulang temuan Gua Kidang
secara keseluruhan belum dianalisis, namun salah satu temuan yang menunjukkan
perbedaan dengan temuan alat tulang gua-gua di Jawa adalah alat pengasah. Temuan
serupa berupa alat pengasah juga pernah ditemukan di Gua Pawon, Dander, Bojonegoro.
Alat pengasah dari Gua Pawon tersebut dibuat dari rahang gigi Bovidae.

Berdasarkan berbagai temuan artefak cangkang kerang dan tulang Gua Kidang yang
berbeda dengan temuan artefak cangkang kerang dan tulang gua-gua di Jawa, tampak
jelas gua ini memiliki peranan penting dalam mengungkap jejak budaya gua terutama di
Jawa. Hal tersebut tampak jelas dengan variasi tipologis jenis alat dengan teknologi yang
lebih rumit dibandingkan artefak temuan pada gua-gua di Jawa lainnya.
Selain itu juga ditemukan rangka Homo sapiens penghuni gua Kidang berupa rangka
bagian bawah (kaki) memperjelas bahwa penghuni gua Kidang telah mengenal ritual
memperlakukan mayat. Sistem penguburan yang telah diketahui berdasarkan temuan
rangka ini adalah susunan bongkahan batu gamping berorientasi baratlaut – tenggara,
penaburan remis-remis cangkang kerang dan remukan batugamping merah, serta
beberapa penyertaan fragmen vertebrata seperti spesies cervidae, macaca, dan suidea di
sekitar rangka. Temuan rangka dari kotak T6S1 adalah rangka seorang remaja berumur
antara 14 – 19 tahun dengan tinggi tubuh antara 160-170 cm. Untuk jenis kelamin belum
dapat diketahui mengingat temuan pinggul belum sepenuhnya tersingkap,


TENTANG GALERI CAGAR BUDAYA BLORA

·         Galeri Cagar Budaya Blora adalah saluran informasi kegiatan Tim Registrasi Cagar Budaya Kabupaten Blora yang dapat diakses masyarakat Blora secara bebas. Tim ini melakukan pendataan terhadap seluruh cagar budaya yang ada di Kabupaten Blora. Hasil pendataan tersebut dimasukkan dalam website Registrasi Nasional Cagar Budaya yang hanya dapat diakses oleh kalangan terbatas. Registrasi Nasional Cagar Budaya merupakan upaya untuk mengetahui jumlah kekayaan Cagar Budaya secara nasional. Sejalan dengan pelaksanaan otonomi daerah, kegiatan pendaftaran Cagar Budaya menjadi tanggung jawab pemerintah kabupaten / kota. Masyarakat Blora bisa berpartisipasi aktif dalam proses pendaftaran Cagar Budaya tersebut baik secara manual maupun online.  Kegiatan pendaftaran Cagar Budaya merupakan langkah awal dalam pencatatan objek yang akan diusulkan sebagai cagar budaya kepada pemerintah kabupaten/ kota.
    
    Pengertian Cagar Budaya
·         Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2010 Cagar Budaya merupakan warisan budaya bersifat kebendaan yang berupa
·         1. Benda
Benda Cagar Budaya adalah benda alam dan/atau benda buatan manusia, baik bergerak maupun tidak bergerak, berupa kesatuan atau kelompok, atau bagian-bagiannya, atau sisa-sisanya yang memiliki hubungan erat dengan kebudayaan dan sejarah perkembangan manusia.
·         2. Struktur
Struktur Cagar Budaya adalah susunan binaan yang terbuat dari benda alam dan/atau benda buatan manusia untuk memenuhi kebutuhan ruang kegiatan yang menyatu dengan alam, sarana, dan prasarana untuk menampung kebutuhan manusia
·         3. Bangunan
Bangunan Cagar Budaya adalah susunan binaan yang terbuat dari benda alam atau benda buatan manusia untuk memenuhi kebutuhan ruang berdinding dan/atau tidak berdinding, dan beratap .
·         4. Situs
Situs Cagar Budaya adalah lokasi yang berada di darat dan /  atau di air yang mengandung benda cagar budaya , dan / atau struktur cagar budaya sebagai hasil kegiatan manusia atau bukti kejadian masa lalu. 
·         5. Kawasan
Kawasan Cagar Budaya adalah satuan ruang geografis yang memiliki dua Situs Cagar Budaya atau lebih yang letaknya berdekatan dan/atau memperlihatkan ciri tata ruang yang khas.